Sabtu, 11 Januari 2014

Kisah Perjalanan Anak, Bapak, dan Keledainya


 Suatu ketika seorang bapak dan anakanya melakukan perjalanan menuju suatu tempat. Mereka tidak mempunyai kendaraan, mereka juga tidak punya kuda yang gagah berani, yang mereka punya hanyalah seekor keledai kecil. Perjalanan cukup jauh dan harus melewati beberapa desa.

Mereka melewati desa pertama. Karena mereka hanya memiliki keledai yang kecil, mereka berdua pun tetap berjalan kaki dan menuntun keledainya. Namun terdengar ucapan–ucapan tak enak dari warga desa di sepanjang perjalanan. “Tuh liat mereka  punya keledai tapi malah jalan kaki, kan percuma, buat apa punya keledai,” ucap beberapa warga desa setempat.

Ketika melintasi desa ke dua, menyikapi ucapan warga di desa pertama, akhirnya keledai itu dipakai sebagai kendaraan. Tapi karena keledai itu kecil. Si ayah mengalah untuk anaknya. Si anak menaiki keledai itu dan si ayah berjalan kaki menempuh perjalanan. Namun ternyata terdengar kembali ucapan dari warga desa di desa kedua. “Tuh. . liat anak gak sopan sama orang tuanya, dia enak–enakan naik keledai, tapi bapaknya di biarin jalan kaki.”

Mereka tetap melanjutkan perjalanan. Tibalah mereka di desa ketiga. Menyikapi ucapan warga di desa kedua, mereka pun bergantian. Si ayah yang naik keledai, sementara si anak berjalan kaki. Tapi rupanya terdengar kembali ucapan yang tidak mengenakan dari warga di desa ketiga, “Tuh. . liat bapak yang gak sayang sama anaknya, tega bener anaknya dibiarin jalan kaki, tapi dia sendiri enak  naik keledai.”

Mereka melanjutkan perjalanan dan telah sampai di desa keempat. Menyikapi ucapan warga di desa sebelumnya. Akhirnya mereka berdua pun sepakat untuk sama–sama menunggangi keledai itu. Namun tetap saja terdengar omongan warga di desa keempat yang tidak mengenakkan, “Tuh. . liat bapak sama anak sama aja, nggak kasian sama binatang, masa keledai sekecil itu dinaiki berdua.”

Kemudian mereka pun tiba di desa kelima. Mereka sudah muak mendengar ucapan yang tidak enak dari warga di desa yang dilewatinya. Apapun selalu dianggap salah. Akhirnya menyikapi ucapan warga di desa sebelumnya. Mereka berdua sepakat untuk sama sama berjalan kaki dan si keledai mereka gendong bersama–sama. Ternyata apa yang terjadi di desa itu, Warga desa justru berbondong bondong melihat mereka. Mereka pun kebingungan dengan apa yang terjadi. Lalu terdengar teriakan dari salah satu warga dan diikuti warga lainnya, “Orang gila . . . orang gila. . . orang gila. . . . Bapak sama anak sama–sama gilanya hahaha, masa keledai buat ditunggangi malah digendong, hahahahahhaha," seluruh warga desa pun menertawainya. Diantara seluruh desa yang mereka lewati di desa kelima lah ucapan warga yang paling menyakitkan. Di desa ke lima ini mereka dianggap orang gula karena menggendong keledai yang seharusnya di tumpangi.

Dari cerita di atas kita bisa memetik pelajaran. Kadang, apa yang orang bicarakan terhadap yang kita lakukan tidaklah penting sejauh yang kita lakukan didasari niat yang baik. Karena tidak mungkin membuat semua orang sependapat dengan kita.”


Silakan komentar dengan baik dan bijak. Sesuai dengan artikel yang dibaca :)
EmoticonEmoticon