Selasa, 03 Oktober 2017

Cerita Semangat Seorang Kakek Membangun Terowongan


Saat matahari baru berniat muncul ke permukaan dan menampakkan sinarnya. Seorang kakek yang sudah renta berjalan sambil memikul cangkul dan linggis. Jalannya sudah tak setegap dulu, saat ia masih menjadi pejuang di jaman kemerdekaan. Kini ia berjalan agak membungkuk dengan langkah yang tertatih. Namun semangatnya masih sama seperti dulu, tak ada yang berubah.

Sudah sejak lama Desa Tebing tinggi seolah terisolasi dari kota dan desa-desa lainnya. Sebagian wilayah desa itu berbatasan dengan lautan. Dan sebagian lagi memang berbatasan dengan desa lain. Namun perbatasan itu dihalangi oleh tebing tinggi yang amat tinggi dan membentang. Jika warga desa ingin pergi ke desa lain untuk menjual hasil pertaniannya, atau bertemu dengan sanak saudara di desa lain, maka mereka harus melewati laut terlebih dahulu ke arah yang berlawanan. Kemudian memutar begitu jauh sekali.

Kakek Sumardi, kakek yang tua renta itu setiap pagi selalu berjalan menuju tebing tinggi itu. Ia berusaha membuat terowongan agar ada jalan menembus ke desa Sukamakmur yang berada di balik tebing itu. Karena dari desa Sukamakmur bisa diteruskan perjalanan menuju kota. Dengan cangkul dan linggisnya ia berusaha melubangi dinding tebing yang amat keras itu. Ia tak menyerah walau tetes demi tetes keringat mengucur dari dahinya, walau hanya bersusah payah seorang diri, walau warga desa lain selalu menganggapnya gila. Yang ia pikirkan adalah membuat jalan menuju kota. Karena anaknya pergi ke kota tuk mengadu nasib. Ia pergi naik perahu dan memutar ke kota. Sementara kakek itu, tak punya biaya untuk menyewa perahu, untuk menyusul anaknya ke kota.

“Sudahlah kek Sumardi, kita nggak mungkin melubangi dinding batu itu, itu sangat tebal sekali. Apalagi kau sudah renta. Istirahat saja dirumah,” ucap Rahmat, warga desa yang melihat kakek itu sedang berusaha membuat terowongan.

Kakek itu hanya terdiam. Tak menggubris perkataan pemuda 30 tahunan itu. Ia tetap fokus pada pekerjaannya.

“Kek, kakek sudah gila yah? Kakek cuma mimpi untuk buat terowongan di tebing ini, hahaha. . .,” pemuda itu mengolok-olok dan menertawakannya.

Kakek itu menghentikan pekerjaannya, ia menjatuhkan linggisnya.

“Diam kau anak muda, saya takkan pernah berhenti. Saya tak peduli semua warga kampung bilang saya gila sekalipun,” bentak kakek itu yang agak terpancing emosi.

Sang pemuda tadi hanya melenggang sembari tersenyum tipis seolah meremehkan si kakek. Namun semua penghinaan, dan seluruh warga yang meremehkannya semakin membakar semangatnya untuk membuat terowongan menembus tebing.
***

“Kek, mama mana ya kek, kok belum pulang-pulang?” tanya Adit, cucu sang kakek yang masih kecil.

“Adit, mama Adit sedang kerja buat Adit. Sebentar lagi mamah Adit pulang,” jawan Si Kakek.

Aditlah salah satu yang membuat si Kakek begitu menggebu untuk membuat terowongan itu. Selain ia juga ingin desa ini tidak terisolasi. Ia ingin seluruh warga desa punya akses ke luar tanpa harus memutar melalui laut. Walaupun saat ini tak ada warga desa yang mau membantunya. Menurut mereka hal itu mustahil, si kakek sudah coba berkali-kali membujuk warga desa untuk bergotong royong membuat terowongan itu. Namun tak ada yang percaya dan mau mengikutinya.
***

Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Si kakek terus konsisten untuk berusaha membuat terowongan itu dari pagi hingga petang. Ia tetap tak peduli omongan warga. Ia juga tak peduli betapa letihnya harus memaksa otot-ototnya yang telah melemah terus bekerja. Lubang di tebing itu kini sudah mencapai sekitar 3 meter.
Seorang pemuda yang berumur 20-an tahun menghampirinya dan bertanya padanya. Rudi namanya.

“Kek, mengapa kakek begitu rajin untuk membuat terowongan. Padahal kakek kan sudah tua? tanya si pemuda dengan sopan.

“Anak muda, kakek ingin membuat jalan. Karena anak kakek saat ini ada di kota. Selain itu, kakek juga ingin warga desa ini punya akses jalan ke luar dari desa ini. Tidak harus memutar ke laut untuk ke desa lain atau ke kota,” jawab si kakek.

“Tapi kan mungkin akan butuh waktu bertahun-tahun kek, mungkin takkan selesai untuk melubangi tebing yang besar dan keras ini?” tanya Rudi, si pemuda.

“Ya, bahkan mungkin usia kakek tak cukup untuk menyelesaikan terowongan ini seorang diri. Tapi kakek mengerjakan ini bukan semata untuk kakek. Jika pun ini tak selesai, maka cucu kakek yang akan meneruskannya, jika masih belum selesai, maka keturunan berikutnya yang akan menyelesaikannya. Kita hidup untuk terus berusaha, bukan menyerah hanya karena kesulitan. Bahkan air yang menetes di batu pun lama kelamaan bisa membuat batu menjadi berlubang,” bijak si kakek.

Sambil berjalan meninggalkan si kakek, si pemuda itu merenungi perkataan si kakek. Ia berpikir kalau ada benarnya juga apa yang dikatakannya. Sementara si kakek itu meneruskan lagi pekerjaannya.

Beberapa waktu kemudian, Adit, cucu sang kakek hendak menyusul si kakek untuk membantunya. Anak sekecil itu begitu merasa iba ketika melihat sang kakek selalu pulang keletihan setiap harinya.

“Kek, kakek capek, biar Adit bantu ya kek,” ucap Adit yang menghampiri kakeknya.

“Adit, pulanglah nak, biar kakek yang mengerjakan ini. Adit tunggu saja di rumah!”

“Adit nggak mau pulang, Adit mau bantu kakekkkkkk. . . .!!!” teriak Adit.

Sang kakek merasa terharu dengan ucapan anak sekecil itu.

“Ya sudah, Adit boleh temenin kakek. Tapi Adit bantu saja dengan doa ya!” ujar Si kakek.

“Iya kek.”

Anak kecil itu menengadahkan tangannya sambil berdoa. Ia berharap terowongan itu segera selesai. Ia juga berdoa semoga seluruh warga kampung membantu kakeknya.

Sementara itu Si kakek terus mengayun linggisnya menerjang batu-batu tebing. Keringat membasahi dahinya yang telah keriput. Ia terlihat keletihan, namun ia paksakan tenaganya tuk terus bekerja. Sampai suatu ketika, saat mengayun linggisnya, ia terjatuh tak sadarkan diri.

“Kakek. . . .kakek.., bangun kek. . . . .!!!” teriak Adit berusaha membangunkan kakeknya.

“Tolong. . . . .tolong. . .tolongggg. . . .!!!!” Adit meminta pertolongan warga kampung.

 “Ada apa dek?!!” tanya Rudi, pemuda yang baru datang mendengar teriakan itu.

“Kakek. . .kakekk. . .,” desis Adit sembari menangis.

“Ya sudah, kita bawa ke puskesmas saja.” Rudi segera membawa kakek itu.
***

Seluruh warga berkumpul mengitari si kakek yang perlahan dibenamkan ke liang lahat. Kakek itu ternyata telah menghembuskan nafas yang terakhir. Yang paling bersedih adalah cucunya, Adit. Ia menangis tersedu-sedu walau telah berusaha ditenangkan oleh Rudi dan warga lainnya.

Anak itu kini sebatang kara. Kakeknya telah tiada, semantara ibunya masih di kota dan entah kapan kembali.

“Adit tingal sama kaka aja ya?” tanya Rudi.

“Tidak mau, mau sama kakek. Mau sama kakekkkk. . . ..!!!” ucap Adit yang masih menangis di samping makam kakeknya.

“Adit, kalau Adit sedih, nanti kakeknya Adit juga ikut sedih. Sekarang Adit tinggal sama kakak saja ya, sampai ibunya Adit kembali.”

Setelah dibujuk berulang kali, akhirnya anak itu mau tinggal bersama Rudi dan orang tuanya Rudi. Namun anak itu sepanjang hari hanya terdiam sembari menangisi kakeknya. Ia masih murung di sudut ruangan. Keesokan harinya, di pagi hari ia keluar seorang diri.

“Adit, Adit mau ke mana sendirian?” tanya Rudi.

“Adit mau meneruskan perjuangan kakekkkk. . . . .!!” teriak anak itu.

Anak kecil itu menghampiri tebing tinggi tempat kakeknya membuat terowongan. Lubang di tebing itu sudah terlihat. Namun masih sangat jauh untuk menembus tebing itu. Anak itu mengambil linggis yang masih ada disana walaupun untuk mengangkatnya saja ia sudah keberatan.

Rudi berusaha mencegah anak itu. Namun keinginan anak itu begitu kuat.

“Sudahalah Adit, Adit terlalu kecil untuk melakukan pekerjaan itu,” ucap Rudi.

“Tidakkk.. . . .aku ingin meneruskan perjuangan kakekk. . . . .” Adit terus bersikukuh.

Rudi pun terdiam sejenak. Ia teringat ucapan kakeknya Adit saat itu.

“Ya, bahkan mungkin usia kakek tak cukup untuk menyelesaikan terowongan ini seorang diri. Tapi kakek mengerjakan ini bukan semata untuk kakek. Jika pun ini tak selesai, maka cucu kakek yang akan meneruskannya, jika masih belum selesai, maka keturunan berikutnya yang akan menyelesaikannya. Kita hidup untuk terus berusaha, bukan menyerah hanya karena kesulitan. Bahkan air yang menetes di batu pun lama kelamaan bisa membuat batu menjadi berlubang,”  

Rudi pun merasa terhenyak ketika mengingat kembali ucapan itu. Tubuhnya bergetar. Kemudian ia memegang linggis yang sedang dipegang Adit kala itu.

“Biar kakak bantu ya Dit.”

Mereka pun berusaha memecahkan batu dinding tebing itu. Mereka meneruskan perjuangan kakek Sumardi. Dari pagi hingga petang. Begitupun keesokan harinya. Namun ketika siang itu. Mereka dikejutkan oleh para warga yang membawa peralatan tajam yang telah berdiri di belakang mereka. Rudi pun berdiri.

“Ada apa ini?” tanya Rudi kepada warga desa.

“Kami akan membantu meneruskan perjuangan kakek Sumardi,” ucap Rahmat, warga desa yang sempat meremekan kakek itu.

Rudi dan Adit merasa terharu sekali. Mereka senang sekali seluruh warga desa bisa ikut membantu. Dan kini di hari-hari berikutnya seluruh warga desa secara bergantian berusaha membuat terowongan menembus tebing itu. Dari mulai pelajar yang pulang sekolah, petani usai bekerja di sawah, dan lain sebagainya. Meskipun perjuangan mereka hanya dengan alat seadanya. Walaupun mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membuat terowongan itu. Tapi mereka merasa berhutang budi pada Kakek Sumardi. Orang yang tua renta namun masih punya semangat yang tinggi untuk desanya. Sementara saat itu warga desa lain hanya meremehkannya.
***

Tahun demi tahun berlalu. Adit si anak kecil itu kini telah remaja. Ia dan para warga desa terus konsisten membangun terowongan. Lubang di tebing itu telah cukup dalam dan sepertinya tinggal sedikit lagi. Namun ada beberapa warga desa yang sudah mulai lelah dan hampir menyerah.

“Sepertinya takkan mungkin membuat terowongan ini. Kita sudah lubangi tebing ini begitu dalam. Tapi tak tembus juga.”

“Ia, apa lebih baik kita berhenti saja. Nampaknya ini percuma. Lebih baik kita kerjakan pekerjaan kita saja,” ucap warga desa yang mulai menyerah.

“Tidak, kita tidak boleh menyerah, sedikit lagi, ya mungkin tinggal sedikit lagi.” Adit menyemangati warga lainnya.

Tak lama kemudian Secercah cahaya muncul dari dinding tebing itu. Adit segera mendorongnya dengan linggis. Dan ternyata memang benar. Lubang yang mereka buat bertahun-tahun telah menemukan hasil.

Seluruh warga bersuka cita. Namun tiba-tiba Adit terkejut ketika ia berhasil membongkar bongkahan terakhir. Di sana ternyata berdiri seorang wanita.

“Adit, ka. . .kamu Adit kan. Sekarang kau sudah besar nak,” ucap wanita 40 tahunan itu.

“I. . . ibu, mengapa ibu bisa berdiri disitu?”

“Ibu ingin kembali beberapa hari yang lalu nak. Namun ibu tak punya cukup uang untuk memutar ke pantai dan menyewa perahu. Gaji ibu sebagai pembantu di kota belum dibayarkan beberapa bulan. Ibu menunggu disini sejak kemarin. Dan ini keajaiban ibu bisa bertemu denganmu disini. Ibu sangat terkejut sekali.”

“Sudahlah bu, jangan pergi-pergi lagi,” ucap Adit seraya memeluk ibunya yang telah bertahun-tahun tak bertemu.

Seluruh warga desa pun terharu sekali. Pengorbanan mereka bekerja keras, bergotong royong telah membuahkan hasil. Bukan hanya Adit yang kini bisa bertemu dengan ibunya, tapi seluruh warga desa lainnya memetik manfaat atas terowongan itu. Kini mereka bisa mempunyai jalur ke desa lain dan bisa menju kota tanpa harus ke laut terlebih dahulu naik perahu melewati jalan memutar yang sangat jauh sekali.


Semangat dan Pengorbanan Kakek Sumardi telah menumbuhkan semangat gotong royong seluruh warga desa. Semangat gotong royong yang sudah menjadi kearifan budaya bangsa kita. Dan kini mereka bisa memetik hasilnya. 

Silakan komentar dengan baik dan bijak. Sesuai dengan artikel yang dibaca :)
EmoticonEmoticon