Tampilkan postingan dengan label cerita inspiratif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita inspiratif. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Januari 2014

Kisah seorang kakek memindahkan gunung


Suatu ketika di sebuah desa hiduplah sang kakek seorang diri. Ia tinggal di desa yang berbeda dengan keluarganya.

Sebenarnya jarak antara desanya dan desa sanak saudaranya tak begitu jauh. Namun karena ada gunung yang menghalangi, ia pun harus memutar amat jauh atau memanjat gunung tersebut. Desa tempat si kakek tinggal memang terhalang gunung untuk akses keluar dari desa tersebut. Seluruh warga desa tersebut pun harus memutar cukup jauh, atau memanjat gunung tersebut.

Suatu ketika muncullah ide dari si kakek untuk memindahkan gunung tersebut. Ia pun mengajak warga desa yang lain untuk memindahkan gunung tersebut. Namun apa yang orang lain katakan, justru si kakek dianggap gila karena ingin memindahkan gunung. Warga desa itu pun tentu tak ada yang mau diajak oleh si kakek.

Tapi si kakek tak putus asa. Akhirnya ia pun pergi ke gunung tersebut dengan membawa cangkul dan mulai menggali tanah di kaki gunung. Orang-orang menatapnya heran, "sedang apa kakek itu?" tanya warga. Si kakek pun menceritakan tujuannya. Namun setiap ada warga yang melihatnya, si kakek selalu dianggap aneh atau bahkan gila.

Ia tak peduli dengan omongan warga lain. Ia terus berusaha menggali tanah untuk memindahkan gunung tersebut yang menghalangi jalan dari desanya ke luar. Ia berjuang dari pagi hingga petang setiap hari tanpa menyerah.

Satu hari. . . dua hari. . .dan hari-hari berikutnya pun berlalu. Si kakek tetap masih konsisten untuk berusaha memindahkan gunung dengan cangkulnya itu. Di saat itulah ada seorang pemuda yang takjub melihat semangat si kakek yang setiap hari tak kenal menyerah walau dianggap gila oleh orang lain, walau gunung itu begitu besar dan kakek itu sudah tua. Sepertinya itu adalah hal yang sia-sia belaka.

Kemudian si pemuda bertanya pada si kakek, "Wahai kakek, kenapa engkau berusaha memindahkan gunung? Padahal kan gunung itu terlalu besar, apalagi kau sudah tua?" tanya pemuda itu.

Si kakek pun tersenyum kemudian menjawab, "Ya, aku memang sudah tua, dan gunung itu memang sangat besar. Tapi aku akan berusaha sampai mati sekalipun. Karena jika akses jalan ini bisa dibuka, semua warga desa secara turun temurun akan bisa memanfaatkan akses ini. Dan aku yakin jika ada generasi lainnya setelahku yang meneruskan pekerjaanku ini, kemudian diteruskan oleh generasi berikutnya, mungkin gunung ini bisa dipindahkan," jawab si kakek.

Si pemuda pun tercengang dan semakin kagum pada semangan si kakek. Akhirnya mulai hari itu si pemuda juga membantu si kakek untuk memindahkan gunung tersebut. Begitu seterusnya setiap hari. Dan si pemuda juga mengajak warga desa lainnya. Satu per satu warga desa pun mulai ikut mengerjakan hal itu tanpa kenal lelah.

============================================

Dari pelajaran di atas kita bisa belajar dari si kakek. Si kakek yang mungkin usianya tidak lama lagi untuk memindahkan gunung yang begitu besar. Tapi ia tetap semangat dan memberikan kontribusi. Jika kita tarik dalam kehidupan saat ini. Gunung yang begitu besar bisa kita ibaratkan sebagai masalah negara seperti hutang negara, korupsi, bencana alam, ekonomi yang tertinggal, teknologi, dan banyak hal lainnya yang menjadi masalah negara. Mungkin kita takkan bisa menyelesaikan semua masalah negara, ibarat memindahkan gunung tadi. Tapi jika kita bisa memindahkan batu demi batu masalah dan semua orang pun mengikuti, bukan tak mungkin negara ini akan menjadi negara yang maju suatu saat kelak.
Read More

Sabtu, 18 Januari 2014

Cerita inspirasi tentang Si Tukang Kayu


 Dikisahkan ada dua orang tukang kayu yang setiap harinya menebang pohon dan mengambil kayunya untuk dijual. Sebut saja mawar dan bunga, ehh,.. . .jangan. . .jangan, nggak mungkin tukang kayu perempuan. Jadi sebut saja marwan dan Budi.

Awalnya mereka berangkat bersama tuk menebang pohon. Tapi lama kelamaan mereka berpencar di tempat masing-masing. Si Marwan dengan rajinnya menebang kayu setiap hari tanpa henti. Sedangkan hasil yang lebih banyak didapatkan Budi. Si Marwan pun penasaran, bagaimana Budi bisa memotong kayu lebih banyak darinya padahal Si Marwan telah berusaha keras sepenuh hari.

Suatu ketika Si Marwan pun mendatangi Budi diam-diam. Namun yang dilihatnya, Si Budi sedang duduk. Ia pun semakin heran dan bertanya-tanya kenapa si Budi bisa memotong kayu lebih banyak padahal ia lebih banyak duduk dibandingkan bekerja. Sedangkan Marwan selalu bekerja memotong kayu tanpa henti.

Si Marwan pun akhirya memberanikan diri bertanya pada si Budi. "Bud, bagaimana kamu bisa memotong kayu lebih banyak, padahal aku lihat kamu banyak duduk-duduk.?"

Si Budi pun menjawab, "Ketika aku duduk, aku mengasah kapakku agar lebih tajam saat memotong kayu, hingga hasilnya lebih banyak kayu yang bisa aku potong."

Marwan pun baru mengerti, selama ini ia tak pernah mengasah kapaknya. Ia hanya terus bekerja keras memotong kayu tanpa peduli ketajaman kapaknya.

Kadang, dalam hidup kita pun seperti itu. Kita seringkali bekerja keras sepanjang hari. Tapi kita lupa bagaimana caranya kerja efektif. kita tak pernah mengasah otak kita untuk memikirkan bagaimana kerja yang lebih efektif. Sempatkanlah diri kita untuk banyak belajar selain hanya sekedar bekerja.

Itulah cerita inspirasi tentang si tukang kayu. Semoga bermanfaat dan ada makna yang bisa kita petik.


Read More

Kamis, 16 Januari 2014

Setiap individu punya kemampuan masing-masing

Di sebuah hutan diadakan olimpiade para binatang. Ada banyak cabang yang dipertandingkan. Pertandingan pertama adalah lomba lari. Siapa yang menang, yang menang adalah macan. Si macan berhasil mengalahkan hewan lainnya seperti monyet, rusa, ikan, kura-kura, elang, dll.

Kemudian pertandingan berikutnya adalah panjat pohon. Siapakah yang menang, ternyata yang menang monyet yang dengan cepat memanjat pohon.

Pada pertandingan renang ikan mendominasi dan merebut semua medali. Sedangkan di lomba terbang si burung yang menang dan tak terkalahkan.

Cerita di atas tentu saja hanya karangan. Tapi makna yang bisa kita petik dari cerita di atas adalah setiap hewan memiliki kemampuannya masing-masing. Tak ada yang bisa sombong karena masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dalam suatu bidang.

Manusia pun memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Ada orang yang pandai bicara tapi kecerdasannya lebih pandai yang tidak pandai bicara. Ada yang jago soal matematika tapi kalah soal sosial, dan lain sebagainya. Di dunia ini kita hidup saling melengkapi. Yang terpenting bagi kita bukan menyombongkan diri dan merendahkan orang lain yang memiliki kekurangan dalam suatu bidang. Tapi memberikan kontribusi dalam bidang yang kita kuasai.

Karena setiap individu itu spesial antara yang satu dengan yang lain.

Read More

Minggu, 12 Januari 2014

Cara Membagi Waktu


Suatu ketika, seorang murid belum mengerjakan tugas dari gurunya. Si murid pun beralasan karena ia tak punya waktu untuk mengerjakannya. Tapi si guru bertanya, "Setiap orang punya waktu 24 jam sehari, lalu kenapa yang lain bisa sementara kau merasa tak punya waktu?"

Si murid hanya menunduk dan mengakui kalau ia tak pandai mengatur waktu. Ia pun bertanya pada gurunya, "guru, lalu bagaimana caranya mengatur waktu?"

"Coba kau ambilkan gelas, beberapa butir batu, krikil kecil, dan pasir," hanya itu jawab gurunya.

Kemudian si murid pun kembali dengan membawa apa yang diminta gurunya. Si murid masih bingung apa maksud gurunya itu. Kemudian si guru memerintahkan si murid untuk memasukkan pasir, kemudian krikil, lalu batu. Lalu si guru bertanya pada muridnya, "apa kau bisa?"

Si murid menjawab, "batunya tidak bisa masuk guru."

Lalu sang guru mengeluarkan pasir itu. Ia memasukkan batunya terlebih dahulu, kemudian krikil, lalu pasir. Dan semuanya dari ketiga benda itu bisa masuk ke gelas. Lalu si guru bertanya pada muridnya, "apa kau mengerti?"

Si murid hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian gurunya menjelaskan maksudnya, "Jika kita memasukkan batu terlebih dahulu kemudian krikil lalu pasir, kita bisa memasukkan semuanya. Tapi jika kita memasukkan pasirnya dulu kemudian krikil dan pasir maka tak akan bisa masuk. Jadi kita harus mendahulukan kepentingan yang lebih besar dulu untuk digunakan di waktu yang kita punya. Setelah hal penting itu dikerjakan, baru lakukan hal yang menjadi prioritas kedua, dan seterusnya."

Si murid mengangguk dan baru mengerti maksud gurunya.


Read More

Sabtu, 11 Januari 2014

Kisah Perjalanan Anak, Bapak, dan Keledainya


 Suatu ketika seorang bapak dan anakanya melakukan perjalanan menuju suatu tempat. Mereka tidak mempunyai kendaraan, mereka juga tidak punya kuda yang gagah berani, yang mereka punya hanyalah seekor keledai kecil. Perjalanan cukup jauh dan harus melewati beberapa desa.

Mereka melewati desa pertama. Karena mereka hanya memiliki keledai yang kecil, mereka berdua pun tetap berjalan kaki dan menuntun keledainya. Namun terdengar ucapan–ucapan tak enak dari warga desa di sepanjang perjalanan. “Tuh liat mereka  punya keledai tapi malah jalan kaki, kan percuma, buat apa punya keledai,” ucap beberapa warga desa setempat.

Ketika melintasi desa ke dua, menyikapi ucapan warga di desa pertama, akhirnya keledai itu dipakai sebagai kendaraan. Tapi karena keledai itu kecil. Si ayah mengalah untuk anaknya. Si anak menaiki keledai itu dan si ayah berjalan kaki menempuh perjalanan. Namun ternyata terdengar kembali ucapan dari warga desa di desa kedua. “Tuh. . liat anak gak sopan sama orang tuanya, dia enak–enakan naik keledai, tapi bapaknya di biarin jalan kaki.”

Mereka tetap melanjutkan perjalanan. Tibalah mereka di desa ketiga. Menyikapi ucapan warga di desa kedua, mereka pun bergantian. Si ayah yang naik keledai, sementara si anak berjalan kaki. Tapi rupanya terdengar kembali ucapan yang tidak mengenakan dari warga di desa ketiga, “Tuh. . liat bapak yang gak sayang sama anaknya, tega bener anaknya dibiarin jalan kaki, tapi dia sendiri enak  naik keledai.”

Mereka melanjutkan perjalanan dan telah sampai di desa keempat. Menyikapi ucapan warga di desa sebelumnya. Akhirnya mereka berdua pun sepakat untuk sama–sama menunggangi keledai itu. Namun tetap saja terdengar omongan warga di desa keempat yang tidak mengenakkan, “Tuh. . liat bapak sama anak sama aja, nggak kasian sama binatang, masa keledai sekecil itu dinaiki berdua.”

Kemudian mereka pun tiba di desa kelima. Mereka sudah muak mendengar ucapan yang tidak enak dari warga di desa yang dilewatinya. Apapun selalu dianggap salah. Akhirnya menyikapi ucapan warga di desa sebelumnya. Mereka berdua sepakat untuk sama sama berjalan kaki dan si keledai mereka gendong bersama–sama. Ternyata apa yang terjadi di desa itu, Warga desa justru berbondong bondong melihat mereka. Mereka pun kebingungan dengan apa yang terjadi. Lalu terdengar teriakan dari salah satu warga dan diikuti warga lainnya, “Orang gila . . . orang gila. . . orang gila. . . . Bapak sama anak sama–sama gilanya hahaha, masa keledai buat ditunggangi malah digendong, hahahahahhaha," seluruh warga desa pun menertawainya. Diantara seluruh desa yang mereka lewati di desa kelima lah ucapan warga yang paling menyakitkan. Di desa ke lima ini mereka dianggap orang gula karena menggendong keledai yang seharusnya di tumpangi.

Dari cerita di atas kita bisa memetik pelajaran. Kadang, apa yang orang bicarakan terhadap yang kita lakukan tidaklah penting sejauh yang kita lakukan didasari niat yang baik. Karena tidak mungkin membuat semua orang sependapat dengan kita.”


Read More

Jumat, 10 Januari 2014

Kisah Pemuda yang Ingin Menjadi

Dikisahkan ada seorang pemuda yang hidupnya selalu berkelana untuk mencari makna hidup yang sesungguhnya. Ia berjalan melewati gunung, lembah, sawah, dan melewati desa-desa. Ia adalah seorang pemuda yang sedang mencari jati diri.

Suatu saat pemuda itu melewati sebuah desa. Ia melihat suatu desa yang tanahnya subur. Hujan meyirami tanaman mereka hingga tanaman mereka tumbuh subur. Di desa itu airnya cukup melimpah ruah. Air itu mereka pakai untuk kehidupan sehari- ari seperti mandi, minum, dan menyirami tanaman mereka. Lalu si pemuda itu pun berpikir, "seandainya aku adalah air, mungkin aku bisa bermanfaat sekali bagi orang-orang desa."

Si pemuda itu kembali melanjutkan perjalanannya. Ia sampai di desa berikutnya. Ia begitu terkejut melihat keadaan desa itu. Desa itu sedang dilanda musibah banjir. Rumah-rumah tenggelam, harta  hanyut, dan berbagai penyakit menghampiri warga desa setempat. Melihat kejadian itu si pemuda itu pun berpikir, "Aku tak ingin jadi air, air telah  membuat warga desa ini menderita."
Si pemuda itu melanjutkan perjalannya lagi. Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang melewati pegunungan dan lembah akhirnya ia sampai di desa berikutnya. Ia begitu kagum dengan desa yang ia singgahi kali ini. Sinar matahari memancar begitu cerahnya. Ada orang yang berjemur di hangatnya sinar matahari. Sinar matahari memancarkan keindahan desa tersebut. Bunga-bunga tumbuh bermekaran seiring pancaran sinar matahari. Si pemuda itu pun akhirnya berpikir, "Seandainya aku adalah mentari, aku akan memberikan sinarku untuk semua orang dan semua makhluk hidup. Yang pasti aku akan bermanfaat banyak bagi seluruh kehidupan.”

Kemudian Si pemuda itu melanjutkan perjalanannnya lagi. Ia pun sampai di suatu daerah yang tandus. tanahnya kering dan retak-retak, pohon-pohon pun mengering dan ada beberapa orang yang kehausan. Melihat keadaan itu, si pemuda itu tak ingin lagi menjadi seperti matahari. Kemudian si pemuda itu pun melanjutkan perjalanan panjangnya.

Setelah melalui perjalanan panjang, si pemuda itu pun tiba di padang rumput yang indah. Di sana ditumbuhi bunga-bunga yang indah. Angin bertiup sepoi-sepoi membuat suasana tempat itu menjadi lebih nyaman. Ia pun melihat burung-burung yang terbang menghempas angin. Angin pula yang menerbangkan pesawat yang melintas kala itu. Merasakan suasana seindah itu membuat pemuda itu berpikir, "Seandainya aku bisa menjadi angin, aku akan membuat suasana menjadi jauh lebih nyaman."

Tapi tak lama kemudian di tempat itu bertiup angin puting beliung yang sangat kencang. Angin itu memporak-porandakan pepohonan, rumah, dan semua yang ada. Ia pun hampir saja terhisap oleh angin puting beliung itu. Ganasnya angin yang bertiup kala itu membuat pemuda itu membenci angin.

Pemuda itu pun melanjutkan perjalanannya lagi. Ia berhenti sejenak di tepi pantai. Ia merenungi semua yang telah ia lalui dalam perjalanan panjangnya. Dulu ia sempat berpikir ingin menjadi seperti air, namun keinginannya berubah ketika banjir menerjang di sebuah desa. Ia pun sempat berpikir ingin menjadi matahari, namun keinginannya berubah ketika ia melihat lahan yang tandus dan kering karena panasnya sinar matahari. Ia pun sempat ingin menjadi seperti angin, namun ia menjadi membenci angin setelah angin kencang membuat apa yang dilaluinya porak–poranda.

Di titik itu ia merenungi masa hidupnya. Masa hidupnya yang  sebagian besar dilaluinya dengan berkelana. Dan saat merenung di tepi pantai ini si pemuda itu kini sudah tak lagi muda. Kulitnya sudah mulai keriput, Giginya mulai tanggal, dan rambutnya mulai memutih. Si pemuda itu ternyata sudah tua dan telah menghabiskan waktu mudanya untuk berkelana.

Di masa tuanya ia baru bisa menyimpulkan ingin menjadi apa. Air, Matahari, dan Angin memang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan. Namun juga bisa merusak kehidupan. Hampir segala hal di dunia ini, dan setiap orang memiliki sisi positif dan juga sisi negatif  termasuk si pemuda yang tak lagi muda itu. Kini si pemuda yang tak lagi muda itu baru mengerti kalau ia tak perlu menjadi air untuk bermanfaat bagi kehidupan, tak perlu menjadi matahari yang selalu memberi tak harap kembali, dan tak perlu menjadi angin yang memberi sejuta kenyamanan. Yang perlu ia lakukan adalah menjadi dirinya sendiri. Ya, menjadi yang terbaik dari dirinya sendiri. Dan ia begitu menyesal mengapa saat melewati desa yang kebanjiran tidak menolong warga yang menjadi korban kebanjiran. Ia pun begitu menyesal mengapa saat melewati tempat yang kekeringan tak memberikan seteguk air pun kepada orang yang sedang kehausan. Dan ia begitu menyesal mengapa tak turut membangun tempat tinggal para korban yang kehilangan tempat tinggal karena rumahnya diterjang angin putting beliung kala itu.

Namun penyesalan yang paling mendalam baginya adalah mengapa ia baru mengerti apa yang ia inginkan dari dirinya ketika usianya sudah tua, dan ketika kakinya sudah tak kuat lagi tuk berjalan.

“Kita tak akan pernah dan tak akan bisa menjadi orang lain, atau menjadi siapapun. Tapi jadilah dirimu sendiri, jadilah yang terbaik dari dirimu.”


Read More

Cerita Inspirasi, Satu Koin


Di sebuah desa tinggalah 2 orang bersaudara. Sebut saja Si Untung dan Si Alan. Walaupun mereka bersaudara, namun mereka begitu berbeda. Si Alan mempunyai cita-cita yang sangat tinggi. Ia ingin sekali menjadi orang yang paling sukses di seluruh dunia. Sedangkan Si Untung mempunyai prinsip yang sederhana dalam hidupnya. Menurutnya, Ia harus melakukan sesuatu yang lebih baik di setiap detik dan di setiap nafas hidupnya.

Walaupun Si Alan mempunyai cita-cita yang sangat tinggi, namun dari segi prestasi justru Si Untung lebih baik darinya, baik prestasi akademis maupun non akademis. Si Untung banyak mengikuti lomba-lomba mulai dari yang berhubungan dengan seni, olahraga, maupun akademis. Walaupun seringkali gagal jadi juara, tapi juga ada prestasi yang didapatkannya. Sedangkan Si Alan jarang sekali mengikuti lomba-lomba. Ia merasa malu, ragu, dan takut apabila nantinya gagal, takut dicemooh orang, atau takut terluka. Ia lebih sering melamunkan masa depan dan cita-citanya. Ia begitu yakin bakal sukses suatu saat. Ia bakal berusaha suatu saat nanti untuk sukses. Namun entah kapan.

Suatu hari dikampungnya diadakan suatu perlombaan menyambut 17 agustus. Perlombaan itu adalah mencari koin-koin yang telah disembunyikan oleh panitia. Si Untung pun mengikuti perlombaan tersebut, Si Alan tidak mau mengikuti lomba tersebut, karena menurutnya lomba itu tidak penting dan buang–buang waktu saja. Ia lebih suka melamunkan kesuksesangnya di masa depan. Namun Si Untung berusaha membujuk saudaranya itu untuk mengikuti lomba tersebut. Akhirnya setelah dibujuk terus Si Alan mau juga ikut lomba itu. Ada 5 koin yang disembunyikan panitia dan para peserta harus menemukan koin-koin tersebut. Setiap peserta juga diberikan peta petunjuk disembunyikannya koin-koin tersebut. Medannnya cukup sulit apalagi sore kemarin desa mereka baru diguyur hujan dan membuat beberapa wilayah becyek, dan licyinn gak ada ojyek pula.

Bunyi terompet tanda dimulainya perlombaan terdengar. Perlombaan pun dimulai. Semua peserta bergegas mencari koin-koin tersebut, naik ke pohon, menggali tanah, menyingkirkan semak, nyebur ke kali, semuanya dilakukan. Jika dilihat dari peta, ada 4 koin yang disembunyikan di daerah yang sama, sementara 1 koin lagi letaknya sangat jauh di puncak gunung yang curam dan berbahaya.

Di saat peserta lain berusaha keras mencari koin-koin tersebut, Si Alan malah duduk-duduk santai. ”Alan kenapa kamu duduk-duduk saja, kalau begitu kamu tidak akan menang” kata si Untung. ”Males ah . . ., nanti kotor, terus kalo luka gimana. . .” kata si Alan sambil duduk-duduk santai dan bersandar pada sebuah pohon. Namun ketika sedang asyik bersantai, tanpa disengaja tangannya menyentuh sesuatu yang berbentuk pipih dan bulat serta keras. Si Alan pun kaget melihatnya. Ternyata yang ia pegang adalah koin yang disembunyikan panitia. Ia pun kegirangan karena menemukan 4 koin sekaligus. Di koin itu masing-masing bertuliskan kekayaan, kesuksesan, kebahagiaan dan harapan. Ia pun sudah sangat puas walau 1 koin lagi belum diketemukan. ”Aku serahkan saja langsung ke panitia, lagi pula 4 koin saja aku sudah menang, apalagi 1 koin lagi letaknya sangat jauh di puncak gunung yang tinggi”. Kata si Alan. Peserta lain pun sudah menyerah karena tak mungkin lagi mengumpulkan koin lebih banyak. Kecuali si Untung ”masih ada 1 koin lagi yang belum ditemukan, aku tak akan menyerah walau tak mungkin mengumpulkan koin lebih banyak dari saudaraku” kata si Untung.

Si Untung pun pergi mendaki gunung yang curam dan ia terus maju pantang menyerah untuk menemukan koin itu walau sering jatuh, terluka, keringat dan darah pun bercucuran. Di sisi lain sodaranya si Alan menyerahkan koin yang ia dapat ke panitia. Namun panitia belum mengumumkan pemenangnya sampai seluruh peserta berkumpul.

”Si untung itu kaya orang gila saja, sudah jelas tidak akan menang, tapi tetep nyari koin itu” kata peserta lainnya. Akhirnya si Untung pun datang dengan terpincang-pincang dan luka-luka di sekujur tubuhnya. Tapi ia berhasil menemukan koin itu. Di koin itu bertuliskan tulisan resiko. Si Untung pun menyerahkan koin itu ke panitia.

Akhirnya panitia mengumumkan siapa pemenangnya, ”Baiklah kami kami akan umumkan pemenangnya. Pemenang lomba mencari koin dan berhak mendapatkan hadiah 1 unit sepeda motor dimenangkan oleh . . . . . si Untung. . .  ..!!!. Seluruh peserta lain pun terkejut, terutama si Alan. ”Ini tidak adil. . .ini curang. . huuu dasar panitia licik. Saya sudah mengumpulkan 4 koin sedangkan si Untung hanya 1 koin, seharusnnya aku yang menang” ucap si Alan begitu marah.

Namun panitia tidak menggubrisnya. Panitia pun menyerahkan 5 koin yang diperebutkan (koin harapan, kekayaan, kebahagiaan, kesuksesan, dan koin resiko) kepada si Untung. Selain itu panitia pun menyerahkan 1 unit sepeda motor kepada si Untung. Si untung pun terkejut. ”Mengapa aku bisa menang, padahal aku hanya mengumpulkan 1 koin” kata si Untung. ”Ini sudah keputusan panitia” kata panitia.

Si Untung pun pergi ke tepi sungai dan berpikir. Sementara si Alan pulang dan mengurung diri di kamar lantaran kesal. Setelah sekian lama berpikir di tepi sungai, akhirnya si Untung mendapat jawabannya. Koin yang ia dapat adalah koin resiko, sementara koin yang ditemukan si Alan adalah koin kekayaan, kesuksesan, kebahagiaan, dan harapan. Tapi si Alan tidak berani mengambil koin resiko karena terletak di tempat yang sulit. ”Ya. . . .mungkin dalam hidup ini kita tidak akan mendapatkan harapan, kekayaan, kesuksesan, dan kebahagiaan apabila kita tidak berani mengambil resiko” itulah yang si Untung pikirkan.
.............

”Dalam hidup ini kita tidak akan mendapatkan harapan, kekayaan, kesuksesan, dan kebahagiaan apabila kita tidak berani mengambil resiko”


Read More